BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
dalam perspektif demokrasi adalah sebuah komponen yang vital. Dalam membangun
demokrasi, tak pelak proses pendidikan yang menjadikan warga negara yang
merdeka, berpikir kritis dan sangat familiar dalam praktik-praktik demokrasi.
Sejarah mencatat, intelektual-intelektual bangsa yang berpendidikan barat lah
yang memegang peranan penting sebagai penggagas gairah
kebangsaan dan sekaligus sebagai founding fathers berdirinya republik
ini. Namun tak
kurang pula, pendidikan yang telah dikenyam pemimpin bangsa, ketika berubah
menjadi suatu rejim yang otoriter maka pendidikan yang diberikan oleh
pemerintah (penguasa) menuntut penerimaan masyarakat secara paksa (passive
acceptance). Masa otonomi daerah
ditandai dengan implementasi UU No.22 tahun 1999 yang direvisi dan diganti
dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kedua UU inilah
perspektif demokratisasi pendidikan memiliki fondasi dasarnya sebelum
diterbitkan peraturan-peraturan (PP) maupun Peraturan daerah (Perda) yang
mengatur lebih lanjut tentang pendidikan ini, selain UU Sisdiknas itu sendiri. Untuk mengetahui pendidikan di era otonomi daerah
secara jelas, maka akan dibahas pada bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana kebijakan pendidikan di era otonomi?
2.
Bagaimanakah perjalanan kebijakan pendidikan?
3.
Apa yang dimaksud dengan demokratisasi dan
desentralisasi pendidikan
4.
Apa urgensi dari demokratisasi pendidikan?
C.
Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah untuk mengetahui:
1.
Kebijakan
pendidikan di era otonomi
2.
Perjalanan kebijakan pendidikan
3.
Demokratisasi dan desentralisasi pendidikan
4.
Urgensi dari demokratisasi pendidikan
BAB II
DEMOKRASI PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI
DAERAH
A.
Kebijakan
Pendidikan di Era Otonomi
Pendidikan di dalam UU Sisdiknas
No 20 tahun 2003 disebutkan adalah hak dasar kemanusiaan yang harus dapat
dinikmati secara layak dan merata oleh setiap masyarakat. Pengertian hak dasar
kemanusiaan yang termaktub dalam UU ini merupakan hak asasi yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng semenjak seseorang
dilahirkan ke dunia. Hak asasi kemanusiaan ini mengandaikan pemenuhannya hanya
bisa dicapai dan terpenuhi dengan perlindungan, penghormatan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Maka Negara sebagai
institusi resmi wajib melaksanakannya, memfasilitasi dan meniadakan segala
penghalangnya. Untuk itu, pendidikan yang bermutu, semestinya mampu dinikmati
oleh semua element masyarakat bangsa Indonesia. Kebijakan pendidikan di
Indonesia semestinya mendukung atas terjaminnya hak-hak asasi warganya utamanya
dalam hal perolehan pendidikan bermutu khususnya dalam konteks otonomi daerah.
Dalam konteks otonomi daerah,
pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah digagas dan diawali dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun
1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan
pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan
Bidang Pendidikan. Pelimpahan wewenang ini diteruskan dengan dikeluarkan UU Nomor 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan
Daerah yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian
daerah, menciptakan system pembiayaan daerah yang adil, trasparan dan bertanggung jawab.
Adanya UU otonomi daerah dan UU
perimbangan keuangan pusat-daerah ini semakin membantu dan memberi kesempatan
kepada pemerintah daerah untuk seluas-luasnya mengelola pendidikan sebaik
mungkin. Secara
eksplisit kewenangan dan alokasi dana pendidikan ini disebutkan dalam UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 29: “Dana pendidikan selain
gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
Realisasi dari UU ini tentunya
mengarah pada tanggung jawab pemerintah daerah yang semakin meningkat dan
semakin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah dengan
legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam
berbagai tahap pembangunan pendidikan; sejak mulai tahap perumusan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan di daerah masing-masing
sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional. Pengaturan otonomi daerah dalam
bidang pendidikan secara tegas dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang
mengatur tentang pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Semua
urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan provinsi tersebut
sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.
B.
Perjalanan Kebijakan
Pendidikan
Perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang
demokratis, kalau tidak dapat disebut
liberal, ketika pada saat ini
otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai UU No. 2
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “privatisasi” perguruan tinggi
negeri –dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No.
60 tahun 2000, sampai UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan,
pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan
bagi pusat maupun daerah. Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha
dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan intelektual yang
diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis, bukan menghancurkan bangsa
dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme, dimana peran pendidikan
(agama, moral dan kenegaraan) yang didapat dibangku sekolah dengan tidak
semestinya.
Dalam kondisi yang demikian, mungkin benar ungkapan yang mengatakan
“negeri ini dihancurkan oleh kaum intelektualnya sendiri”. Apa sebab, karena
pendidikan nasional selama ini bertekuk lutut kepada kepentingan penguasa.
Pendidik, yaitu guru dan dosen yang tidak mengikuti sistem akan terlibas,
sehingga murid yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini mendapatkan
pendidikan yang tidak bermutu. Pendidikan disequillibrum antara pendidikan
moral dan agama dengan sains. Perilaku yang dibentuk generasi “pendidikan
otoriter” demikian banyak melahirkan pribadi yang terbelah tak seimbang,
mengutip Abidin (2000), pendidikan seperti ini "too much science too
little faith", lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan keyakinan
agama.
Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan.
Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan.
C.
Demokratisasi dan
Desentralisasi Pendidikan
Telah disebutkan dimuka bahwa pendidikan, dalam bahasa lain, mereformasi
dirinya sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan dan terutama perbaikan
institusi-institusi pencetak aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti
pendahulunya. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung
berbagai elemen demokrasi di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang
memiliki implikasi positif terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi
pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama, antara lain desentralisasi
pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang yang
mengatut tentang pendidikan di negara kita.
Namun perlu diketahui bahwa menurut Alisjahbana (2000),
mengacu pada Burki et.al. (1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini
secara konseptual dibagi menjadi dua jenis, pertama desentralisasi kewenangan
di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih kepada kebijakan
pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang
lebih besar di tingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan desentralisasi
penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian demokratisasi.
Sedangkan konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan yang lebih
besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas
pendidikannya.
Dua hal ini mungkin sekali untuk dilaksanakan tergantung situasi
kondisinya. Walaupun evaluasi mengisyaratkan belum optimalnya pendidikan
Indonesia dibawah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut,
yakni masih berkisar pada tataran desentralisasi pendidikan dengan model
pertama, yang merupakan bagian dari desentralisasi politik dan fiskal
(financing terhadap pendidikan regional), akan tetapi peningkatan kualitas
proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar
tersebut diharapkan juga berlangsung. Untuk itulah partisipasi orangtua,
masyarakat, dan guru sangat penting untuk mereformasi pendidikan ini, selain
memecahkan masalah finansial melalui langkah-langkah yang di-formulasi
pemerintah baik pusat maupun daerah.
D.
Urgensi desentralisasi
pendidikan
Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan
nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai
dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan
direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah dibeberapa
provinsi di Indonesia, mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi
masyarakat akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya
bukanlah utopia. Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah
(melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan
desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu
dan mendesak.
BAB III
PENUTUP
Keran demokrasi dan demokratisasi begitu terbuka dan membahana pada masa
reformasi sekarang ini. Maka dari itu pula, reformasi pendidikan mutlak bagi
bangsa ini dan dapat segera diwujudkan menyusul semakin pentingnya sektor
pendidikan dijadikan prioritas utama pembangunan, dimana pembiayaan dan
kewenangan menjadi fokus utama dalam reformasi pendidikan tekait dengan
desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah saat ini. Diantara berbagai
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasca orde baru (orde reformasi), adalah
kebijakan di bidang pendidikan yangmenentukan kiprah bangsa ini di masa depan.
Niscaya, sumber daya manusia yang unggul akan dibentuk melalui sistem
pendidikan yang merupakan kapital sosial bagi pembentuk generasi masa depan.
Diharapkan, tidak hanya pemerintah yang “memikirkan” konsep dan sistem
pendidikan yang ideal, tetapi merupakan tanggung jawab bersama. Dalam konsepsi
perikehidupan berbangsa dan bernegarayang menuju kearah civil society sekarang
ini, era reformasi dan otonomi daerah seakan angin segar sekaligus kesempatan
besar dalam reformasi di segala bidang untuk kemajuan bangsa. Sekali lagi,
pendidikan merupakan kunci bangsa untuk eksis dan bersaing di kancah global di
masa depan. Pengalaman negara-negara barat yang bermasyarakat dengan tingkat
pendidikan dan penguasaan teknologi yang tinggi membawa bangsanya pada
kedudukan yang tinggi pula pada percaturan internasional. Kedaulatan dan
keunggulan yang kompetitif di masa depan bukan milik suatu bangsa atau negara,
melainkan hak semua bangsa di dunia dan mampu diraih bangsa manapun, termasuk
kita jika berbenah diri dari sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Armida S. Otonomi
Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, Bandung : FE Universitas Padjadjaran,
2000
Budiono, “Dampak Krisis Ekonomi dan
Moneter Terhadap Pendidikan”, Jakarta: Pusat Penelitian Sains dan Teknologi,
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998
Burki, Shahid j., Guillermo E. Perry
dan William E. Dillinger, “Beyond the Center: Decentralizing the State,
Washington DC: World Bank, 1999
Ki Supriyoko, “Rekonstruksi Landasan
Pendidikan Nasional”, dalam Masyarakat Versus Negara: Paradigma Baru Membatasi
Dominasi Negara, Jakarta: Penerbit KOMPAS, 1999
Patrinos, Harry A. dan David L.
Ariasingam, “Decentralization of Education: Demand-Side Financing”, Washington
DC: World Bank, 1997
Republik Indonesia, UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, Oktober
-----------------------, UU No. 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, Oktober
Suryadi, Karim, “Demokratisasi
Pendidikan Demokrasi”, dalam Masyarakat Versus Negara: Paradigma Baru Membatasi
Dominasi Negara, Jakarta: Penerbit KOMPAS, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar