BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FALSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Falsafat pendidikan Islam
diperkirakan berkembang sejalan dengan latar belakang sejarah penyebaran agama Islam.
Seperti diketahui penyebaran agama Islam berawal dari Mekkah, kota kelahiran
Rasul SAW. Namun demikian Islam baru membangun dirinya sebagai sebuah peradaban
yang lengkap adalah di periode Madinah. Sebagai ibukota, Madinah berperan
sebagai pusat peradaban baru yang didasarkan pada konsep ajaran agama (Islam).
Disinilah Rasul SAW dan para sahabat membuktikan kepada manusia zamannya bahwa Islam
sebagai agama mampu dan berhasil menata kehidupan berbangsa dan bernegara atas
dasar ajaran agama, dalam bentuk komunitas yang disebut ummah.
A.
Periode Awal Perkembangan Islam
Periode
ini meliputi masa kehidupan nabi Muhammad SAW. Dan masa pemerintahan Khulafa’
al-Rasyidin. Islam diturunkan bukan di daerah terasing, melainkan di daerah
yang terletak pada lalu lintas dagang yang ramai. Mekkah dan Madinah tempat
lahir dan berkembangnya Islam merupakan pelabuhan penghubung antara dua
kekuatan adikuasa yang dominan ketika itu, yakni Persia di timur dan Romawi di
Barat. Namun demikian, kondisi masyarakat Arab yang memilki mobilitas yang
tinggi itu secara sosial politik masih tergolong sebagai masyarakat yang
relatif primitif. Dengan demikian kedatangn Islam membawa revolusi besar dalam
mengubah tatanan sosial politik dan sosial budaya. Masyarakat Arab dan latar
belakang kehidupannya, setelah kedatangan Islam ternyata mampu menjadi
masyarakat yang beradab.
Padahal
sebelum kedatangan Islam masyarakat Arab adalah masyarakat yang terdiri atas
masyarakat pribumi yang buta aksara, meskipun kemampuan hafalan mereka
rata-rata mengagumkan, tetapi tidak banyak pada waktu itu. Pemikiran mengenai
falsafat pendidikan pada periode awal ini merupakan perwujudan dari kandungan
ayat-ayat al-Quran dan hadits, yang keseluruhannya membentuk kerangka umum
ideologi Islam. Dengan kata lain, kata Hasan Langgulung, bahwa pemikiran
pendidikan Islam dilihat dari segi al-Quran dan hadits, tidaklah muncul sebagai
pemikiran yang terputus, terlepas hubungannya dengan masyarakat seperti yang
digambarkan oleh Islam.
Diperipode
kehidupan Rasulullah SAW. Ini tampaknya mulai terbentuk pemikiran pendidikan
yang bersumber dari al-Quran dan hadits secara murni. Jadi hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran al-Quran yang
diteladai oleh masyarakat dari sikap dan perilaku hidup nabi Muhammad SAW.
Adapun
falsafah pendidikam al-Quran itu sendiri menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly
meliputi lima masalah utama[1].
Kelima masalah tersebut adalah : (1) tujuan pendidikan dalam al-Quran; (2)
pandangan al-Quran terhadap manusia; (3) pandangan al-Quran terhadap pendidikan
kemasyarakat; (4) pandangan al-Quran terhadap alam; (5) pandangan al-Quran
terhadap khalik.
Nilai-nilai
yang diperlukan manusia untuk mencapai keselamatan di dunia dan akhirat.
Nilai-nilai tersebut secara garis besarnya mencakup lima kategori:
1.
Nilai-nilai
yang berhubungan dengan individu (al-Akhlak al-Fardhiyah). Nilai-nilai
ini pada dasrnaya diperuntukan bagi pembentukan nilai kepribadian yang
berdasarkan akhlak al-karimah. Karena itu nilai-nilai ini didasarkan atas
dorongan untuk berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat, secara
lahir dan batin. Untuk melakukan yang baik dan menghindari dari perbuatan yang
jahat, maka diperlukan suatu sifat keteladanan dari diri pribadi secara utuh.
Dengan demikian pribadi yang diharapkan adalah pribadi teladan yang tidak
mendatangkan kerugian dan malapetaka bagi diri, masyarakat dan lingkungannya.
2.
Nilai-nilai
yang berhubungan dengan keluarga (al-akhlak al-‘usariyah), pada garis
besarnya: kewajiban orang tua dan anak-anak, kewajiban suami istri, kewajiban
memelihara hubungan baik antara kaum kerabat, prinsip-prinsip dan masalah
kewarisan.
3.
Nilai-nilai
yang berhubungan dengan kehidupan sosial (al-akhlak al-ijtimaiyyah),
meliputi segala bentuk tindakan yang harus dihindarkan agar kehidupan
bermasyarakat terjamin dari segala kerusakan. Nilai-nilai ini terdiri atas
nilai yang diarahkan pada upaya menahan diri dari berlaku dan berbuat yang merugikan masyarakat
dan pembinaan hubungan baik antar sesama anggota masyarakat. Secara garis
besarnya nilai-nilai tersebut dibagi menjadi: larangan melakukan yang
merugikan, beberapa anjuran dalam memelihara kehidupan bermasyarakat, pedoman
dalam tata tertib pergaulan yang sopan.
4.
Nilai-nilai
yang berhubungan dengan kehidupan bernegara (al-akhlak al-daulah), meliputi
aturan mengenai hubungan antara kepala negar dan rakyatnya, hubungan antara
rakyat dan kepala negaraa, hubungan antar negara, masalah yang berhubungan
dengan perselisihan antar negara.
5.
Nilai-nilai
yang berhubungan dengan keagamaan (al-akhlak al-diniyyah) terutama yang
menyangkut kewajiban seseorang terhadap Allah.
Adapun
nilai-nilai akhlak seperti yang dikemukakan diatas merupakan bagian dari upaya
untuk membentuk suatu kepribadian yang berakhlak mulia. Barangkali pemikiran
falsafi tentang pendidikan Islam di periode awal ini terfokus pada
mengaplikasikan nilai-nilai akhlak mulia dalam kehidupan, dengan menjadikan
perikehidupan Rasulullah SAW. Sebagai rujukan langsung. Dengan kata lain,
orientasi pemikiran filsafat pendidikan Islam ketika itu adalah bagaimana
memenuhi tuntutan hidup dan perilaku Islami. Disini terlihat pemikiran falsafat
pendidikan Islam belum tercampur oleh unsur-unsur luar.
B.
Periode Klasik
Periode
klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin hingga
awal imperialis Barat. Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani
Umayyah zaman keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis
hingga abad XIX.
Ada
empat faktor yang dijadikan kerangka acuan dalam pendekatan terhadap
perkembangan pemikiran yang berkitan dengan filsafat pendidikan Islam. Keempat
faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, luas wilayah kekuasaan,
kemajuan-kemajuan yang dicapai dan hubungan antar negara. Sebab dengan demikian
sejalan dengan kenyataan sejarah dan kebutuhan zamannya, para cendikiawan
muslim dipacu untuk menjawab tantangan zamannya. Dan kesungguhan mereka telah
membuahkan hasil dengan menempatkan Islam sebagai agama dan peradaban manusia
sejagat.
Di
awal periode klasik terlihat munculnya sejumlah pemikiran mengenai pendidikan.
Pemikiran mengenai pendidikan tersebut nampaknya disesuaikan dengan kepentingan
dan tempat serta waktu.
Di
zaman kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus), ketika kestabilan politik
tercapai, mereka mulai mengarahkan perhatian kepada kebudayaan, ilmu dan
aspek-aspek peradaban yang mereka jumpai di wilayah taklukannya. Tapi sikap
fanatisme Arab dan agama menyebabkan kecenderungan Bani Umayyah untuk
memperhatikan tradisi Arab dan Islam. Kenyataan ini mendorong Hasan Langgulung
berkesimpulan pemikiran pendidikan di zmana bani Umayyah dititikberatkan pada
kelanjutan pemikiran pendidikan zaman Rasulullah SAW dan zaman Khulafa’
al-Rasyidin. Bedanya, walaupun sikap fanatisme Arab dan peradabannya tinggi,
namun para penguasa Bani Umayyah kebanyakan bukanlah ahli ilmu dan agama.
Dengan demikian, fanatik Arab dan Islam lebih mengarah pada tingkah laku
politik dan bukan tingkah laku agama.
Sikap
fanatik ini mendorong para ulama dan ahli pendidikan menekuni bidang kajian
yang berhubungan dengan tradisi Arab dan Islam, seperti sastra Arab, hadits dan
tafsir. Mereka berusaha menjaga otentisitas pemikiran tersebut agar tidak
dipengaruhi pemikiran non-Arab. Diantara ahli pendidikan yang dikenal zaman ini
adalah Abd al-Hamid Yahya al-Khatib, dan juga Khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan.
Pemikiran pendidikan, bagaimanapun terlihat sudah maju dan sudah didasarkan
atas pertimbangan akan pentingnya pengaruh perkembangan anak (usia). Selain itu
juga telah dilakukan pemikiran mengenai aspek-aspek pendidikan akal, hati dan
jasmani.
Sejak
munculnya kekuasaan Bani Abbas tahun 132 H, ibu kota dipindahkan ke Baghdad.
Sebagai pusat pemerintahan, Bani Abbas memiliki potensi untuk mengembangkan
Baghdad menjadi pusat peradaban. Zaman ini merupakan awal keterbukaan terhadap
budaya dan peradaban luar.
Faktor
keterbukaan ini salah satunya adalah berkembangnya paham muktazilah yang pada
saat itu mendapatkan dukungan dari penguasa. Dalam kedudukan yang demikian itu
pemikiran-pemikiran mutazilah seakan telah membuka pintu lebar-lebar bagi
masuknya pemikiran luar. Adapun pemikiran non-Arab yang mula-mula mempengaruhi
dunia intelektual Islam ketika itu adalah Hellenisme. Gelombang pertama
masuknya Hellenisme berlangsung sekitar 200 tahun, yaitu antara 130-340 H. Masuknya
Hellenissme ke dunia Islam melalui usaha penterjemahan karya-karya Yunani kuno
kedalam bahasa Arab. Demikian deras masuknya pengaruh ini menyebabkan munculnya
sejumlah tempat (kota) yang menjadikan pusat kajian keilmuan.
Upaya
untuk menumbuhkan ilmu pengetahuan dan falsafat tampaknya dipengaruhi oleh
sejumlah faktor pendukung yang cukup potensial, yaitu: Pertama, secara
politis terlihat kekuasaan Islam sedang berada dalam puncak kekuatannya. Kedua,
wilayah koloni baru yang demikian luasnya memberi dukungan sumber dana yang
cukup besar. Ketiga, para penguasa umumnya memiliki minat terhadap
keilmuan, sehingga kegiatan-kegiatan kajian keilmuan, secara tidak langsung
berkaitan dengan kepentingan kerajaan. Keempat, tumbuhnya semacam
kecenderungan baru dalam pemikiran rasional di kalangan ilmuwan Muslim.
Sehingga tidak mengherankan kalau orang-orang Eropa Barat mulai mengagumi
peradaban Muslim.
Diantara
banyak ilmuwan muslim yang bermunculan saat itu, berikut adalah ilmuwan muslim
yang secara khusus karyanya membahas mengenai pendidikan.
1.
Ibnu Qutaibah (213-276 H.)
Nama lengkap Ibn Qutaibah adalah Abu Muhammad Abdullah Ibn Muslim
Qutaibah al-Dainuri. Ia dilahirkan di Kufah tahun 213 H. Dan meninggal pada
usia 63 tahun. Di kota Bagdad ia belajar berbagai disiplin ilmu dari sejumlah
terkemuka di zamannya. Kemudian ia dikenal sebagai imuwan muslim bahasa Arab
dan sejarah. Ia juga dikenal sebagai ilmuwan yang produktif, sehingga banyak
karangannya yang yang terkenal, salah satunnya adalah ‘Uyun al-Akhbar. Dalam
buku ini tepatnya dalam jilid terakhir, ia menulis mengenai akhlak yang
menyangkut akhlak terpuji dan tercela bagi wanita. Kemudian ia juga telah
menyinggung uraian mengenai ilmu yang bermanfaat dan nilai-nilainya bagi mereka
yang mengembangkan ilmu tersebut.
2.
Abu Sa’id Sahnun dan Muhammad Ibn Sahnun
Abu Sa’id Sahnun Ibn Habib al-Tanuhi lahir di Kairawan sekitar
tahun 160 H. Karya ilmuwan ini dibidang pendidikan kurang begitu dikenal.
Tetapi ilmuwan yang kemudian dikenal adalah Muhammad Ibn Sahnun al-Tanuhi yang
juga berasal dari Kairawan. Ia lahir tahun 202 H. Ia merupakan pemikir yang
mempelopori pembaharuan pendidikan di zaman keemasan Islam.
Muhammad Ibn Sahnun adalah pencetus pemikiran pendidikan yang lepas
dari keterkaitannya dengan sastra dan mazhab-mazhab pemikiran Islam. Disini terlihat
Ibnu Sahnun mulai menapak ke pemikiran pendidikan sebagai cabang ilmu
pengetahuan yang mandiri.
3.
Ibn Masarrah (269-319 H.)
Muhammad Ibn Abdillah Ibn Masarrah al-Jabali adalah seorang Muslim
Andalusia. Ia dilahirkan di Cordova pada tahun 269 H. Dan meninggal tahun 319
H. Ia dikenal sebagai seprang sufi dan filosof muslim pertama di belahan
wilayah Islam Barat. Namun demikian Ibn Masarrah juga menulis pemikirannya
mengenai pendidikan dalam bukunya yang berjudul Kitab al-Tabsirat (buku
pengajaran), dan Kitab al-Huruf (lambang-lambang huruf).
Dalam pemikiran falsafatnya, Ibn Masarrah juga menguraikan tentang
sifat-sifat jiwa manusia. Ia berpendapat bahwa secara individual, jiwa manusia
merupakan pancaran dari jiwa universal individual (al-Nafs). Keberadaan jiwa
dalam tubuh manusia dikiaskannya sebagai terkungkung dalam penjara. Karena itu
untuk melepaskan diri dari kungkungan itu, manusia harus membersihkan dirinya
secara spiritual, dengan cara
mendekatkan diri pada Tuhan.
4.
Ibn Maskawaih (330-421 H.)
Abu Ali Ibn Muhammad Maskawaih dilahirkan di Ray tahun 330 H. Karya
tulis Ibn Maskawaih seluruhnya 18 judul, dan kebanyakan berhubungan dengan
masalah kejiwaan dan akhlak. Salah satu dari karyanya yang memuat pemikiran
pendidikan adalah termuat dalam buku Tahzib al-Akhlak (pendidikan
akhlak). Ia juga berpendapat bahwa penulisan sejarah harus berdasarkan atas
kajian yang bersifat ilmiah dan filosofis.
Menurut pandangannya, manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam
kenyataannya manusia memiliki daya pikir. Berdasarkan daya pikir itu pula
manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, serta yang baik dan yang buruk. Dan manusia yang paling
sempurna kemanusiaannya adalah mereka yang paling benar cara berpikirnya serta
yang paling mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu, ia berpendapat bahwa
untuk mewujudkan kebaikan manusia harus membina kerjasama. Usaha unntuk
mewujudkan kebaikan merupakan indikator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan
dari penciptaan manusia itu sendiri. Disini terlihat kecenderungan Ibn Maskawih
menempatkan akhlak sebagai dasar pemikiran pendidikannya.
5.
Ibn Sina (370-428 H.)
Abu Ali al-Husein Ibn Abdullah Ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370
H/980 M. Ia dianggap sebagai seorang yang cerdas, karena dalam usia 17 tahun
Ibn Sina telah dikenal sebagai filosof dan dokter terkemuka di Bukhara. Sebagai
ilmuwan, ia telah berhasil menyumbangkan buah pikirannya dalam buku karangannya
yang berjumlah 276 nuah. Diantara karya besarnya adalah al-Syifa’ berupa
ensiklopedi tentang fisika, matematika dan logika. Kemudian al-Qanun al-Tibb
adalah sebuah ensiklopedi kedokteran.
Adapun pemikiran Ibn Sina yang banyak kaitannya dengan pendidikan,
menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibn Sina ilmu terbagi
menjdi dua, yaitu: (1) ilmu yang tak kekal; dan (2) ilmu yang kekal (hikmah).
Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis
dan yang teoritis. Selanjutnya Ibnu Sina
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat).
Kebahagiaan dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang
dikemukakannya, yaitu kebahagiaan pribadi, masyarakat, manusia secara
menyeluruh, dan yang akhir adalah kebahagiaan di akhirat.
Dalam pemikiran pendidikannya, Ibn Sina juga telah menguraikan
tentang psikologi pendidikan. Hal ini terlihat dari uraiannya mengenai hubungan
pendidikan anak dengan tingkat usia, kemauan dan bakat anak. Ia juga telah
berpendapat bahwa adanya perbedaan individu (individual diffrencies)
seperti yang dikenal dunia pendidikan modern sekarang. Pemikiran pendidikan Ibn
Sina tampaknya telah membuka selubung keagungan tokoh ini. Di dunia Barat
sendiri pemikiran pendidikan yang menyangkut pendidikan anak baru dilakukan
menjelang abad ke-18.
6.
Al-Ghazali (450-505 H.)
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Gazali dilahirkan di Thusia
daerah Khusaran, Persia, tahun 450 H./1058 M. Melihat kemampuan dan kecerdasan
al-Gazali, al-Juwaini sebagai salah satu gurunya memberinya gelar “bahrun
mughriq” (laut yang menenggelamkan). Di Baghdad al-Gazali menjadi guru besar di
universitas yang didirikan Nidham al-Mulk seorang perdana menteri sultan Bani
Saljuk.
Adapun pemikiran pendidikan al-Gazali termuat dalam tiga buku
karangannya, yaitu Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad dan Ihya Ulum
al-Din. Menurut pendapat imam Gazali, pendidikan yang baik merupakan jalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Menurut pandangan al-Gazali, ilmu dapat dilihat dari dua segi,
yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama, al-Gazali
membagi ilmu menjadi ilmu hissyiyah, ilmu aqliyah dan ilmu laduni.
Ilmu hisyiyah diperoleh manusia melalui penginderaan, sedangkan ilmu
aqliyah diperoleh melalui kegiatan berpikir, sedangkan ilmu laduni
diperoleh langsung dari Allah, tanpa melaui proses penginderaan atau pemikiran,
melainkan melalui hati. Kemudian ilmu sebgai obyek dapat dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu: ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, ilmu pengetahuan
yang terpujidan ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika
memperdalaminya tercela.
Selanjutnya, al-Gazali memperinci pembagian ilmu pengetahuan
berdasarkan pembidangan (spesialisasi) menjadi dua bidang, yaitu ilmu syari’at
sebagai ilmu yang terpuji (ilmu ushul/imu pokok, ilmu furu’/cabang, ilmu
pengantar/mukaddimah, dan ilmu perlengkapan), dan ilmu bukan syariah (ilmu yang
terpuji, ilmu yang diperbolehkan dan ilmu yang tercela).
Dalam hal yang berhubungan dengan metode pendidikan, al-Gazali
menekankan pentingnya bimbingan dan pembiasaan. Dalam menerapkan metode
tersebut al-Gazali menyarankan agar tujuan utama dari penggunaan metode
tersebut diselaraskan dengan tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat, dan
pembawaan anak dan tujuannya tidak dilepaskan dari hubungannya dengan nilai
manfaat.
C.
Periode Modern
1.
Al-Thahthawi
2.
Muhammad Abduh
3.
Isma’il Raj’i al-Faruqi
4.
Konperensi Pendidikan Islam
BAB III
KESIMPULAN
Sejarah
perkembangan falsafat pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari latar
belakang sejarah penyebaran agama Islam. Perkembangan Falsafat Pendidikan Islam
dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode awal perkembangan Islam, periode
klasik dan periode modern. pemikiran
falsafi tentang pendidikan Islam di periode awal ini terfokus pada
mengaplikasikan nilai-nilai akhlak mulia dalam kehidupan, dengan menjadikan
perikehidupan Rasulullah SAW. Sebagai rujukan langsung. Dengan kata lain,
orientasi pemikiran filsafat pendidikan Islam ketika itu adalah bagaimana
memenuhi tuntutan hidup dan perilaku Islami. Disini terlihat pemikiran falsafat
pendidikan Islam belum tercampur oleh unsur-unsur luar.
Pemikiran
pendidikan di periode klasik ditandai oleh beberapa hal antara lain: pertama,
pemikiran didasarkan atas upaya menelaah konsep-konsep ajaran Islam dan
menerapkannya dalam bidang pendidikan. Kedua, usaha tersebut ditunjukan
untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat,
sekaligus menunjukan bukti bahwa ajaran Islam memuat konsep ajaran yang
berhubungan dengan peningkatan kualitas SDM. Ketiga, konsep ajaran Islam
memuat konsep yang berhubungan dengan pengembangan peradaban manusia dalam
berbagai aspek kehidupan. Keempat, peradaban dapat dikembangkan melalui
hubungan timbal balik antara agama dan ilmu pengetahuan. Kelima, pengaruh pemikiran asing digunakan
sebagai pelengkap dan berfungsi sebagai bahan pengayaan dan bukan unsur yang
mendominasi konsep yang bersumber dari ajaran Islam. Kemudian dalam
perkembangan selanjutnya, filsafat pendidikan Islam telah diselaraskan dengan
kebutuhan masyarakat muslim terhadap pendidikan di zaman modern, rumusan ini
diperoleh dari penyelenggaraan konferensi pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin dan Usman
Said. 1994. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya,
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
[1]
Dr. Jalaludin
dan Drs. Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), cet. I, hlm. 118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar