Jumat, 04 Januari 2013


BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN FALSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Falsafat pendidikan Islam diperkirakan berkembang sejalan dengan latar belakang sejarah penyebaran agama Islam. Seperti diketahui penyebaran agama Islam berawal dari Mekkah, kota kelahiran Rasul SAW. Namun demikian Islam baru membangun dirinya sebagai sebuah peradaban yang lengkap adalah di periode Madinah. Sebagai ibukota, Madinah berperan sebagai pusat peradaban baru yang didasarkan pada konsep ajaran agama (Islam). Disinilah Rasul SAW dan para sahabat membuktikan kepada manusia zamannya bahwa Islam sebagai agama mampu dan berhasil menata kehidupan berbangsa dan bernegara atas dasar ajaran agama, dalam bentuk komunitas yang disebut ummah.
A.              Periode Awal Perkembangan Islam
Periode ini meliputi masa kehidupan nabi Muhammad SAW. Dan masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin. Islam diturunkan bukan di daerah terasing, melainkan di daerah yang terletak pada lalu lintas dagang yang ramai. Mekkah dan Madinah tempat lahir dan berkembangnya Islam merupakan pelabuhan penghubung antara dua kekuatan adikuasa yang dominan ketika itu, yakni Persia di timur dan Romawi di Barat. Namun demikian, kondisi masyarakat Arab yang memilki mobilitas yang tinggi itu secara sosial politik masih tergolong sebagai masyarakat yang relatif primitif. Dengan demikian kedatangn Islam membawa revolusi besar dalam mengubah tatanan sosial politik dan sosial budaya. Masyarakat Arab dan latar belakang kehidupannya, setelah kedatangan Islam ternyata mampu menjadi masyarakat yang beradab.
Padahal sebelum kedatangan Islam masyarakat Arab adalah masyarakat yang terdiri atas masyarakat pribumi yang buta aksara, meskipun kemampuan hafalan mereka rata-rata mengagumkan, tetapi tidak banyak pada waktu itu. Pemikiran mengenai falsafat pendidikan pada periode awal ini merupakan perwujudan dari kandungan ayat-ayat al-Quran dan hadits, yang keseluruhannya membentuk kerangka umum ideologi Islam. Dengan kata lain, kata Hasan Langgulung, bahwa pemikiran pendidikan Islam dilihat dari segi al-Quran dan hadits, tidaklah muncul sebagai pemikiran yang terputus, terlepas hubungannya dengan masyarakat seperti yang digambarkan oleh Islam.
Diperipode kehidupan Rasulullah SAW. Ini tampaknya mulai terbentuk pemikiran pendidikan yang bersumber dari al-Quran dan hadits secara murni. Jadi hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan berbentuk pelaksanaan ajaran al-Quran yang diteladai oleh masyarakat dari sikap dan perilaku hidup nabi Muhammad SAW.
Adapun falsafah pendidikam al-Quran itu sendiri menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly meliputi lima masalah utama[1]. Kelima masalah tersebut adalah : (1) tujuan pendidikan dalam al-Quran; (2) pandangan al-Quran terhadap manusia; (3) pandangan al-Quran terhadap pendidikan kemasyarakat; (4) pandangan al-Quran terhadap alam; (5) pandangan al-Quran terhadap khalik.
Nilai-nilai yang diperlukan manusia untuk mencapai keselamatan di dunia dan akhirat. Nilai-nilai tersebut secara garis besarnya mencakup lima kategori:
1.     Nilai-nilai yang berhubungan dengan individu (al-Akhlak al-Fardhiyah). Nilai-nilai ini pada dasrnaya diperuntukan bagi pembentukan nilai kepribadian yang berdasarkan akhlak al-karimah. Karena itu nilai-nilai ini didasarkan atas dorongan untuk berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat, secara lahir dan batin. Untuk melakukan yang baik dan menghindari dari perbuatan yang jahat, maka diperlukan suatu sifat keteladanan dari diri pribadi secara utuh. Dengan demikian pribadi yang diharapkan adalah pribadi teladan yang tidak mendatangkan kerugian dan malapetaka bagi diri, masyarakat dan lingkungannya.
2.     Nilai-nilai yang berhubungan dengan keluarga (al-akhlak al-‘usariyah), pada garis besarnya: kewajiban orang tua dan anak-anak, kewajiban suami istri, kewajiban memelihara hubungan baik antara kaum kerabat, prinsip-prinsip dan masalah kewarisan.
3.     Nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan sosial (al-akhlak al-ijtimaiyyah), meliputi segala bentuk tindakan yang harus dihindarkan agar kehidupan bermasyarakat terjamin dari segala kerusakan. Nilai-nilai ini terdiri atas nilai yang diarahkan pada upaya menahan diri dari  berlaku dan berbuat yang merugikan masyarakat dan pembinaan hubungan baik antar sesama anggota masyarakat. Secara garis besarnya nilai-nilai tersebut dibagi menjadi: larangan melakukan yang merugikan, beberapa anjuran dalam memelihara kehidupan bermasyarakat, pedoman dalam tata tertib pergaulan yang sopan.
4.     Nilai-nilai yang berhubungan dengan kehidupan bernegara (al-akhlak al-daulah), meliputi aturan mengenai hubungan antara kepala negar dan rakyatnya, hubungan antara rakyat dan kepala negaraa, hubungan antar negara, masalah yang berhubungan dengan perselisihan antar negara.
5.     Nilai-nilai yang berhubungan dengan keagamaan (al-akhlak al-diniyyah) terutama yang menyangkut kewajiban seseorang terhadap Allah.
Adapun nilai-nilai akhlak seperti yang dikemukakan diatas merupakan bagian dari upaya untuk membentuk suatu kepribadian yang berakhlak mulia. Barangkali pemikiran falsafi tentang pendidikan Islam di periode awal ini terfokus pada mengaplikasikan nilai-nilai akhlak mulia dalam kehidupan, dengan menjadikan perikehidupan Rasulullah SAW. Sebagai rujukan langsung. Dengan kata lain, orientasi pemikiran filsafat pendidikan Islam ketika itu adalah bagaimana memenuhi tuntutan hidup dan perilaku Islami. Disini terlihat pemikiran falsafat pendidikan Islam belum tercampur oleh unsur-unsur luar.

B.              Periode Klasik
Periode klasik mencakup rentang masa pasca pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin hingga awal imperialis Barat. Rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Umayyah zaman keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga abad XIX.
Ada empat faktor yang dijadikan kerangka acuan dalam pendekatan terhadap perkembangan pemikiran yang berkitan dengan filsafat pendidikan Islam. Keempat faktor tersebut adalah sistem pemerintahan, luas wilayah kekuasaan, kemajuan-kemajuan yang dicapai dan hubungan antar negara. Sebab dengan demikian sejalan dengan kenyataan sejarah dan kebutuhan zamannya, para cendikiawan muslim dipacu untuk menjawab tantangan zamannya. Dan kesungguhan mereka telah membuahkan hasil dengan menempatkan Islam sebagai agama dan peradaban manusia sejagat.
Di awal periode klasik terlihat munculnya sejumlah pemikiran mengenai pendidikan. Pemikiran mengenai pendidikan tersebut nampaknya disesuaikan dengan kepentingan dan tempat serta waktu.
Di zaman kekuasaan Bani Umayyah di timur (Damaskus), ketika kestabilan politik tercapai, mereka mulai mengarahkan perhatian kepada kebudayaan, ilmu dan aspek-aspek peradaban yang mereka jumpai di wilayah taklukannya. Tapi sikap fanatisme Arab dan agama menyebabkan kecenderungan Bani Umayyah untuk memperhatikan tradisi Arab dan Islam. Kenyataan ini mendorong Hasan Langgulung berkesimpulan pemikiran pendidikan di zmana bani Umayyah dititikberatkan pada kelanjutan pemikiran pendidikan zaman Rasulullah SAW dan zaman Khulafa’ al-Rasyidin. Bedanya, walaupun sikap fanatisme Arab dan peradabannya tinggi, namun para penguasa Bani Umayyah kebanyakan bukanlah ahli ilmu dan agama. Dengan demikian, fanatik Arab dan Islam lebih mengarah pada tingkah laku politik dan bukan tingkah laku agama.
Sikap fanatik ini mendorong para ulama dan ahli pendidikan menekuni bidang kajian yang berhubungan dengan tradisi Arab dan Islam, seperti sastra Arab, hadits dan tafsir. Mereka berusaha menjaga otentisitas pemikiran tersebut agar tidak dipengaruhi pemikiran non-Arab. Diantara ahli pendidikan yang dikenal zaman ini adalah Abd al-Hamid Yahya al-Khatib, dan juga Khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan. Pemikiran pendidikan, bagaimanapun terlihat sudah maju dan sudah didasarkan atas pertimbangan akan pentingnya pengaruh perkembangan anak (usia). Selain itu juga telah dilakukan pemikiran mengenai aspek-aspek pendidikan akal, hati dan jasmani.
Sejak munculnya kekuasaan Bani Abbas tahun 132 H, ibu kota dipindahkan ke Baghdad. Sebagai pusat pemerintahan, Bani Abbas memiliki potensi untuk mengembangkan Baghdad menjadi pusat peradaban. Zaman ini merupakan awal keterbukaan terhadap budaya dan peradaban luar.
Faktor keterbukaan ini salah satunya adalah berkembangnya paham muktazilah yang pada saat itu mendapatkan dukungan dari penguasa. Dalam kedudukan yang demikian itu pemikiran-pemikiran mutazilah seakan telah membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya pemikiran luar. Adapun pemikiran non-Arab yang mula-mula mempengaruhi dunia intelektual Islam ketika itu adalah Hellenisme. Gelombang pertama masuknya Hellenisme berlangsung sekitar 200 tahun, yaitu antara 130-340 H. Masuknya Hellenissme ke dunia Islam melalui usaha penterjemahan karya-karya Yunani kuno kedalam bahasa Arab. Demikian deras masuknya pengaruh ini menyebabkan munculnya sejumlah tempat (kota) yang menjadikan pusat kajian keilmuan.
Upaya untuk menumbuhkan ilmu pengetahuan dan falsafat tampaknya dipengaruhi oleh sejumlah faktor pendukung yang cukup potensial, yaitu: Pertama, secara politis terlihat kekuasaan Islam sedang berada dalam puncak kekuatannya. Kedua, wilayah koloni baru yang demikian luasnya memberi dukungan sumber dana yang cukup besar. Ketiga, para penguasa umumnya memiliki minat terhadap keilmuan, sehingga kegiatan-kegiatan kajian keilmuan, secara tidak langsung berkaitan dengan kepentingan kerajaan. Keempat, tumbuhnya semacam kecenderungan baru dalam pemikiran rasional di kalangan ilmuwan Muslim. Sehingga tidak mengherankan kalau orang-orang Eropa Barat mulai mengagumi peradaban Muslim.
Diantara banyak ilmuwan muslim yang bermunculan saat itu, berikut adalah ilmuwan muslim yang secara khusus karyanya membahas mengenai pendidikan.
1.               Ibnu Qutaibah (213-276 H.)
Nama lengkap Ibn Qutaibah adalah Abu Muhammad Abdullah Ibn Muslim Qutaibah al-Dainuri. Ia dilahirkan di Kufah tahun 213 H. Dan meninggal pada usia 63 tahun. Di kota Bagdad ia belajar berbagai disiplin ilmu dari sejumlah terkemuka di zamannya. Kemudian ia dikenal sebagai imuwan muslim bahasa Arab dan sejarah. Ia juga dikenal sebagai ilmuwan yang produktif, sehingga banyak karangannya yang yang terkenal, salah satunnya adalah ‘Uyun al-Akhbar. Dalam buku ini tepatnya dalam jilid terakhir, ia menulis mengenai akhlak yang menyangkut akhlak terpuji dan tercela bagi wanita. Kemudian ia juga telah menyinggung uraian mengenai ilmu yang bermanfaat dan nilai-nilainya bagi mereka yang mengembangkan ilmu tersebut.  
2.               Abu Sa’id Sahnun dan Muhammad Ibn Sahnun
Abu Sa’id Sahnun Ibn Habib al-Tanuhi lahir di Kairawan sekitar tahun 160 H. Karya ilmuwan ini dibidang pendidikan kurang begitu dikenal. Tetapi ilmuwan yang kemudian dikenal adalah Muhammad Ibn Sahnun al-Tanuhi yang juga berasal dari Kairawan. Ia lahir tahun 202 H. Ia merupakan pemikir yang mempelopori pembaharuan pendidikan di zaman keemasan Islam.
Muhammad Ibn Sahnun adalah pencetus pemikiran pendidikan yang lepas dari keterkaitannya dengan sastra dan mazhab-mazhab pemikiran Islam. Disini terlihat Ibnu Sahnun mulai menapak ke pemikiran pendidikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mandiri.
3.               Ibn Masarrah (269-319 H.)
Muhammad Ibn Abdillah Ibn Masarrah al-Jabali adalah seorang Muslim Andalusia. Ia dilahirkan di Cordova pada tahun 269 H. Dan meninggal tahun 319 H. Ia dikenal sebagai seprang sufi dan filosof muslim pertama di belahan wilayah Islam Barat. Namun demikian Ibn Masarrah juga menulis pemikirannya mengenai pendidikan dalam bukunya yang berjudul Kitab al-Tabsirat (buku pengajaran), dan Kitab al-Huruf (lambang-lambang huruf).
Dalam pemikiran falsafatnya, Ibn Masarrah juga menguraikan tentang sifat-sifat jiwa manusia. Ia berpendapat bahwa secara individual, jiwa manusia merupakan pancaran dari jiwa universal individual (al-Nafs). Keberadaan jiwa dalam tubuh manusia dikiaskannya sebagai terkungkung dalam penjara. Karena itu untuk melepaskan diri dari kungkungan itu, manusia harus membersihkan dirinya secara spiritual,  dengan cara mendekatkan diri pada Tuhan.
4.               Ibn Maskawaih (330-421 H.)
Abu Ali Ibn Muhammad Maskawaih dilahirkan di Ray tahun 330 H. Karya tulis Ibn Maskawaih seluruhnya 18 judul, dan kebanyakan berhubungan dengan masalah kejiwaan dan akhlak. Salah satu dari karyanya yang memuat pemikiran pendidikan adalah termuat dalam buku Tahzib al-Akhlak (pendidikan akhlak). Ia juga berpendapat bahwa penulisan sejarah harus berdasarkan atas kajian yang bersifat ilmiah dan filosofis.
Menurut pandangannya, manusia adalah makhluk  yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir. Berdasarkan daya pikir itu pula manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, serta yang baik  dan yang buruk. Dan manusia yang paling sempurna kemanusiaannya adalah mereka yang paling benar cara berpikirnya serta yang paling mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu, ia berpendapat bahwa untuk mewujudkan kebaikan manusia harus membina kerjasama. Usaha unntuk mewujudkan kebaikan merupakan indikator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri. Disini terlihat kecenderungan Ibn Maskawih menempatkan akhlak sebagai dasar pemikiran pendidikannya.
5.               Ibn Sina (370-428 H.)
Abu Ali al-Husein Ibn Abdullah Ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370 H/980 M. Ia dianggap sebagai seorang yang cerdas, karena dalam usia 17 tahun Ibn Sina telah dikenal sebagai filosof dan dokter terkemuka di Bukhara. Sebagai ilmuwan, ia telah berhasil menyumbangkan buah pikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah 276 nuah. Diantara karya besarnya adalah al-Syifa’ berupa ensiklopedi tentang fisika, matematika dan logika. Kemudian al-Qanun al-Tibb adalah sebuah ensiklopedi kedokteran.
Adapun pemikiran Ibn Sina yang banyak kaitannya dengan pendidikan, menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibn Sina ilmu terbagi menjdi dua, yaitu: (1) ilmu yang tak kekal; dan (2) ilmu yang kekal (hikmah). Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan  yang teoritis. Selanjutnya Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat). Kebahagiaan dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya, yaitu kebahagiaan pribadi, masyarakat, manusia secara menyeluruh, dan yang akhir adalah kebahagiaan di akhirat.
Dalam pemikiran pendidikannya, Ibn Sina juga telah menguraikan tentang psikologi pendidikan. Hal ini terlihat dari uraiannya mengenai hubungan pendidikan anak dengan tingkat usia, kemauan dan bakat anak. Ia juga telah berpendapat bahwa adanya perbedaan individu (individual diffrencies) seperti yang dikenal dunia pendidikan modern sekarang. Pemikiran pendidikan Ibn Sina tampaknya telah membuka selubung keagungan tokoh ini. Di dunia Barat sendiri pemikiran pendidikan yang menyangkut pendidikan anak baru dilakukan menjelang abad ke-18.  
6.               Al-Ghazali (450-505 H.)
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Gazali dilahirkan di Thusia daerah Khusaran, Persia, tahun 450 H./1058 M. Melihat kemampuan dan kecerdasan al-Gazali, al-Juwaini sebagai salah satu gurunya memberinya gelar “bahrun mughriq” (laut yang menenggelamkan). Di Baghdad al-Gazali menjadi guru besar di universitas yang didirikan Nidham al-Mulk seorang perdana menteri sultan Bani Saljuk. 
Adapun pemikiran pendidikan al-Gazali termuat dalam tiga buku karangannya, yaitu Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad dan Ihya Ulum al-Din. Menurut pendapat imam Gazali, pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Menurut pandangan al-Gazali, ilmu dapat dilihat dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama, al-Gazali membagi ilmu menjadi ilmu hissyiyah, ilmu aqliyah dan ilmu laduni. Ilmu hisyiyah diperoleh manusia melalui penginderaan, sedangkan ilmu aqliyah diperoleh melalui kegiatan berpikir, sedangkan ilmu laduni diperoleh langsung dari Allah, tanpa melaui proses penginderaan atau pemikiran, melainkan melalui hati. Kemudian ilmu sebgai obyek dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, ilmu pengetahuan yang terpujidan ilmu pengetahuan yang dalam kadar tertentu terpuji, tetapi jika memperdalaminya tercela.
Selanjutnya, al-Gazali memperinci pembagian ilmu pengetahuan berdasarkan pembidangan (spesialisasi) menjadi dua bidang, yaitu ilmu syari’at sebagai ilmu yang terpuji (ilmu ushul/imu pokok, ilmu furu’/cabang, ilmu pengantar/mukaddimah, dan ilmu perlengkapan), dan ilmu bukan syariah (ilmu yang terpuji, ilmu yang diperbolehkan dan ilmu yang tercela).
Dalam hal yang berhubungan dengan metode pendidikan, al-Gazali menekankan pentingnya bimbingan dan pembiasaan. Dalam menerapkan metode tersebut al-Gazali menyarankan agar tujuan utama dari penggunaan metode tersebut diselaraskan dengan tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat, dan pembawaan anak dan tujuannya tidak dilepaskan dari hubungannya dengan nilai manfaat.

C.              Periode Modern
1.               Al-Thahthawi
2.               Muhammad Abduh
3.               Isma’il Raj’i al-Faruqi
4.               Konperensi Pendidikan Islam

BAB III
KESIMPULAN
Sejarah perkembangan falsafat pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari latar belakang sejarah penyebaran agama Islam. Perkembangan Falsafat Pendidikan Islam dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode awal perkembangan Islam, periode klasik  dan periode modern. pemikiran falsafi tentang pendidikan Islam di periode awal ini terfokus pada mengaplikasikan nilai-nilai akhlak mulia dalam kehidupan, dengan menjadikan perikehidupan Rasulullah SAW. Sebagai rujukan langsung. Dengan kata lain, orientasi pemikiran filsafat pendidikan Islam ketika itu adalah bagaimana memenuhi tuntutan hidup dan perilaku Islami. Disini terlihat pemikiran falsafat pendidikan Islam belum tercampur oleh unsur-unsur luar.
Pemikiran pendidikan di periode klasik ditandai oleh beberapa hal antara lain: pertama, pemikiran didasarkan atas upaya menelaah konsep-konsep ajaran Islam dan menerapkannya dalam bidang pendidikan. Kedua, usaha tersebut ditunjukan untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, sekaligus menunjukan bukti bahwa ajaran Islam memuat konsep ajaran yang berhubungan dengan peningkatan kualitas SDM. Ketiga, konsep ajaran Islam memuat konsep yang berhubungan dengan pengembangan peradaban manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Keempat, peradaban dapat dikembangkan melalui hubungan timbal balik antara agama dan ilmu pengetahuan.  Kelima, pengaruh pemikiran asing digunakan sebagai pelengkap dan berfungsi sebagai bahan pengayaan dan bukan unsur yang mendominasi konsep yang bersumber dari ajaran Islam. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, filsafat pendidikan Islam telah diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat muslim terhadap pendidikan di zaman modern, rumusan ini diperoleh dari penyelenggaraan konferensi pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin dan Usman Said. 1994. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada.


[1] Dr. Jalaludin dan Drs. Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), cet. I, hlm. 118.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

cara daftar member di website netira

CARA MENJADI MEMBER DI WEB RESMI SMPN 3 RAJADESA 1.   MASUK KE www.smpn3rajadesa.sch.id .2.   Pilih menu Daftar   3.  ...