Sabtu, 05 Januari 2013
SEPUTAR PENDIDIKAN
- Mencari NUPT klik disin
- Mencari NISN klik disin
- Mencari Administrasi Pembelajaran klik disini
- Mencari Bahan Ajar Klik disini
- Mencari Buku BSE klik disini
Jumat, 04 Januari 2013
Makalah: Demokrasi Pendidikan di era otonomi daerah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
dalam perspektif demokrasi adalah sebuah komponen yang vital. Dalam membangun
demokrasi, tak pelak proses pendidikan yang menjadikan warga negara yang
merdeka, berpikir kritis dan sangat familiar dalam praktik-praktik demokrasi.
Sejarah mencatat, intelektual-intelektual bangsa yang berpendidikan barat lah
yang memegang peranan penting sebagai penggagas gairah
kebangsaan dan sekaligus sebagai founding fathers berdirinya republik
ini. Namun tak
kurang pula, pendidikan yang telah dikenyam pemimpin bangsa, ketika berubah
menjadi suatu rejim yang otoriter maka pendidikan yang diberikan oleh
pemerintah (penguasa) menuntut penerimaan masyarakat secara paksa (passive
acceptance). Masa otonomi daerah
ditandai dengan implementasi UU No.22 tahun 1999 yang direvisi dan diganti
dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kedua UU inilah
perspektif demokratisasi pendidikan memiliki fondasi dasarnya sebelum
diterbitkan peraturan-peraturan (PP) maupun Peraturan daerah (Perda) yang
mengatur lebih lanjut tentang pendidikan ini, selain UU Sisdiknas itu sendiri. Untuk mengetahui pendidikan di era otonomi daerah
secara jelas, maka akan dibahas pada bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana kebijakan pendidikan di era otonomi?
2.
Bagaimanakah perjalanan kebijakan pendidikan?
3.
Apa yang dimaksud dengan demokratisasi dan
desentralisasi pendidikan
4.
Apa urgensi dari demokratisasi pendidikan?
C.
Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah untuk mengetahui:
1.
Kebijakan
pendidikan di era otonomi
2.
Perjalanan kebijakan pendidikan
3.
Demokratisasi dan desentralisasi pendidikan
4.
Urgensi dari demokratisasi pendidikan
BAB II
DEMOKRASI PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI
DAERAH
A.
Kebijakan
Pendidikan di Era Otonomi
Pendidikan di dalam UU Sisdiknas
No 20 tahun 2003 disebutkan adalah hak dasar kemanusiaan yang harus dapat
dinikmati secara layak dan merata oleh setiap masyarakat. Pengertian hak dasar
kemanusiaan yang termaktub dalam UU ini merupakan hak asasi yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng semenjak seseorang
dilahirkan ke dunia. Hak asasi kemanusiaan ini mengandaikan pemenuhannya hanya
bisa dicapai dan terpenuhi dengan perlindungan, penghormatan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Maka Negara sebagai
institusi resmi wajib melaksanakannya, memfasilitasi dan meniadakan segala
penghalangnya. Untuk itu, pendidikan yang bermutu, semestinya mampu dinikmati
oleh semua element masyarakat bangsa Indonesia. Kebijakan pendidikan di
Indonesia semestinya mendukung atas terjaminnya hak-hak asasi warganya utamanya
dalam hal perolehan pendidikan bermutu khususnya dalam konteks otonomi daerah.
Dalam konteks otonomi daerah,
pelimpahan wewenang pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah digagas dan diawali dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun
1999 dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
berisi tentang penyerahan sejumlah wewenang yang semula menjadi urusan
pemerintah Pusat kepada pemerintah Daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan
Bidang Pendidikan. Pelimpahan wewenang ini diteruskan dengan dikeluarkan UU Nomor 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan
Daerah yang bertujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian
daerah, menciptakan system pembiayaan daerah yang adil, trasparan dan bertanggung jawab.
Adanya UU otonomi daerah dan UU
perimbangan keuangan pusat-daerah ini semakin membantu dan memberi kesempatan
kepada pemerintah daerah untuk seluas-luasnya mengelola pendidikan sebaik
mungkin. Secara
eksplisit kewenangan dan alokasi dana pendidikan ini disebutkan dalam UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 29: “Dana pendidikan selain
gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
Realisasi dari UU ini tentunya
mengarah pada tanggung jawab pemerintah daerah yang semakin meningkat dan
semakin luas, termasuk dalam manajemen pendidikan. Pemerintah daerah dengan
legitimasi UU ini diharapkan senantiasa meningkatkan kemampuannya dalam
berbagai tahap pembangunan pendidikan; sejak mulai tahap perumusan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan sampai pada tingkat pengawasan di daerah masing-masing
sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional. Pengaturan otonomi daerah dalam
bidang pendidikan secara tegas dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang
mengatur tentang pembagian kewenangan pemerintah pusat dan provinsi. Semua
urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan provinsi tersebut
sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.
B.
Perjalanan Kebijakan
Pendidikan
Perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang
demokratis, kalau tidak dapat disebut
liberal, ketika pada saat ini
otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai UU No. 2
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “privatisasi” perguruan tinggi
negeri –dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No.
60 tahun 2000, sampai UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan,
pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan
bagi pusat maupun daerah. Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha
dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan intelektual yang
diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis, bukan menghancurkan bangsa
dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme, dimana peran pendidikan
(agama, moral dan kenegaraan) yang didapat dibangku sekolah dengan tidak
semestinya.
Dalam kondisi yang demikian, mungkin benar ungkapan yang mengatakan
“negeri ini dihancurkan oleh kaum intelektualnya sendiri”. Apa sebab, karena
pendidikan nasional selama ini bertekuk lutut kepada kepentingan penguasa.
Pendidik, yaitu guru dan dosen yang tidak mengikuti sistem akan terlibas,
sehingga murid yang kelak akan menjadi pemimpin negeri ini mendapatkan
pendidikan yang tidak bermutu. Pendidikan disequillibrum antara pendidikan
moral dan agama dengan sains. Perilaku yang dibentuk generasi “pendidikan
otoriter” demikian banyak melahirkan pribadi yang terbelah tak seimbang,
mengutip Abidin (2000), pendidikan seperti ini "too much science too
little faith", lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan keyakinan
agama.
Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan.
Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah disisi lain. Lalu sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan.
C.
Demokratisasi dan
Desentralisasi Pendidikan
Telah disebutkan dimuka bahwa pendidikan, dalam bahasa lain, mereformasi
dirinya sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan dan terutama perbaikan
institusi-institusi pencetak aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti
pendahulunya. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung
berbagai elemen demokrasi di negeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang
memiliki implikasi positif terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi
pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama, antara lain desentralisasi
pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang yang
mengatut tentang pendidikan di negara kita.
Namun perlu diketahui bahwa menurut Alisjahbana (2000),
mengacu pada Burki et.al. (1999) menyatakan bahwa desentralisasi pendidikan ini
secara konseptual dibagi menjadi dua jenis, pertama desentralisasi kewenangan
di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih kepada kebijakan
pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang
lebih besar di tingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan desentralisasi
penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian demokratisasi.
Sedangkan konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan yang lebih
besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas
pendidikannya.
Dua hal ini mungkin sekali untuk dilaksanakan tergantung situasi
kondisinya. Walaupun evaluasi mengisyaratkan belum optimalnya pendidikan
Indonesia dibawah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut,
yakni masih berkisar pada tataran desentralisasi pendidikan dengan model
pertama, yang merupakan bagian dari desentralisasi politik dan fiskal
(financing terhadap pendidikan regional), akan tetapi peningkatan kualitas
proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar
tersebut diharapkan juga berlangsung. Untuk itulah partisipasi orangtua,
masyarakat, dan guru sangat penting untuk mereformasi pendidikan ini, selain
memecahkan masalah finansial melalui langkah-langkah yang di-formulasi
pemerintah baik pusat maupun daerah.
D.
Urgensi desentralisasi
pendidikan
Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan
nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai
dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan
direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah dibeberapa
provinsi di Indonesia, mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi
masyarakat akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999) yang menurutnya
bukanlah utopia. Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah
(melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan
desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu
dan mendesak.
BAB III
PENUTUP
Keran demokrasi dan demokratisasi begitu terbuka dan membahana pada masa
reformasi sekarang ini. Maka dari itu pula, reformasi pendidikan mutlak bagi
bangsa ini dan dapat segera diwujudkan menyusul semakin pentingnya sektor
pendidikan dijadikan prioritas utama pembangunan, dimana pembiayaan dan
kewenangan menjadi fokus utama dalam reformasi pendidikan tekait dengan
desentralisasi pendidikan di era otonomi daerah saat ini. Diantara berbagai
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasca orde baru (orde reformasi), adalah
kebijakan di bidang pendidikan yangmenentukan kiprah bangsa ini di masa depan.
Niscaya, sumber daya manusia yang unggul akan dibentuk melalui sistem
pendidikan yang merupakan kapital sosial bagi pembentuk generasi masa depan.
Diharapkan, tidak hanya pemerintah yang “memikirkan” konsep dan sistem
pendidikan yang ideal, tetapi merupakan tanggung jawab bersama. Dalam konsepsi
perikehidupan berbangsa dan bernegarayang menuju kearah civil society sekarang
ini, era reformasi dan otonomi daerah seakan angin segar sekaligus kesempatan
besar dalam reformasi di segala bidang untuk kemajuan bangsa. Sekali lagi,
pendidikan merupakan kunci bangsa untuk eksis dan bersaing di kancah global di
masa depan. Pengalaman negara-negara barat yang bermasyarakat dengan tingkat
pendidikan dan penguasaan teknologi yang tinggi membawa bangsanya pada
kedudukan yang tinggi pula pada percaturan internasional. Kedaulatan dan
keunggulan yang kompetitif di masa depan bukan milik suatu bangsa atau negara,
melainkan hak semua bangsa di dunia dan mampu diraih bangsa manapun, termasuk
kita jika berbenah diri dari sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, Armida S. Otonomi
Daerah dan Desentralisasi Pendidikan, Bandung : FE Universitas Padjadjaran,
2000
Budiono, “Dampak Krisis Ekonomi dan
Moneter Terhadap Pendidikan”, Jakarta: Pusat Penelitian Sains dan Teknologi,
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998
Burki, Shahid j., Guillermo E. Perry
dan William E. Dillinger, “Beyond the Center: Decentralizing the State,
Washington DC: World Bank, 1999
Ki Supriyoko, “Rekonstruksi Landasan
Pendidikan Nasional”, dalam Masyarakat Versus Negara: Paradigma Baru Membatasi
Dominasi Negara, Jakarta: Penerbit KOMPAS, 1999
Patrinos, Harry A. dan David L.
Ariasingam, “Decentralization of Education: Demand-Side Financing”, Washington
DC: World Bank, 1997
Republik Indonesia, UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, Oktober
-----------------------, UU No. 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, Oktober
Suryadi, Karim, “Demokratisasi
Pendidikan Demokrasi”, dalam Masyarakat Versus Negara: Paradigma Baru Membatasi
Dominasi Negara, Jakarta: Penerbit KOMPAS, 1999
Makalah Kewirausahaan: Karakteristik pengusaha
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Semakin maju suatu negara semakin banyak orang yang terdidik, dan
banyak pula orang menganggur, maka semakin dirasakan pentingnya dunia
wirausaha. Pembangunan akan lebih mantap jiks ditunjang oleh wirausahawan
karena kemampuan pemerintah sangat terbatas. Sebelum berwirausaha, calon
pengusaha harus banyak belajar dan memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan
kewirausahaan. Selain itu, pengusaha harus memiliki karakteristik khusus supaya
menjadi pengusaha yang tangguh dan sukses. Untuk membahas karakteristik
pengusaha secara jelas akan dibahas pada bab selanjutnya.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimanakah
karakteristik yang harus dimilki oleh seorang pengusaha?
C.
Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui
karakteristik-karakteristik pengusha.
BAB II
KARAKTERISTIK PENGUSAHA
Karakteristik
atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pengusaha adalah sebagai berikut:
A.
Jujur
Berdagang atau berbisnis harus dilandasi dengan kejujuran. Apabila
orang berbisnis tidak jujur maka tunggulah kehancurannya. Apabila ia jujur,
maka ia akan mendapatkan keuntungan dari segala penjuru yang ia tidak duga dari
mana datangnya, demikian menurut ajaran agama. Dalam hadits Rasulullah SAW
bersabda: Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama para Nabi,
orang shadiqiin, dan para syuhada. (HR. Tirmidzi dan Hakim)
B.
Kerja
Keras
Berusaha dalam bidang bisnis dan perdagangan adalah usaha kerja keras.
Dalam kerja keras itu, tersembunyi kepuasan batin. Kemauan keras (azam) dapat
menggerakkan motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Orang atau bangsa
yang berhasil ialah yang mau bekerja keras, tahan menderita, dan berjuang
memperbaiki nasibnya. Menurut Murphy dan Peck yang dikutip oleh Buchari
Alma (2004: 196), guna mencapai sukses
karir seseorang, harus dimulai dengan kerja keras. Setelah itu diikuti dengan
mencapai tujuan dengan orang lain, penampilan yang baik, keyakina diri, membuat
keputusan, pendidikan, dorongan ambisi, dan pintar berkomunikasi.
Sebagai seorang Muslim, banyak ajaran agama yang mengharuskan kita
untuk bekerja keras. Dan sudah dicontohkan dan diaplikasikan oleh nabi Muhammad
SAW.
C.
Optimis
Seorang manusia tanpa memiliki sikap optimis bahwa ia akan menjadi
sukses, bahagia, sejahtera dan hidup berkecukupan maka tidak bisa dibayangkan
bahwa ia akan benar-benar menjadi apa yang ia bayangkan saat itu juga. Tentunya
sikap optimis tersebut dibarengi dengan usaha yang maksimal. Betapa banyak para
wirausahawan yang bermodal dari nol bahkan disaat ia belum menjadi wirausahawan
sukses, tidak terpikirkan apalagi terbayangkan bahwa orang itu akan menjadi
sukses. Namun karena optimis yang tinggi semua itu berbalik180 derajat dari
kondisi awalnya.
D.
Berpikir
Kreatif
Berpikir
kreatif merupakan suatu proses yang diperlukan oleh seseorang yang ingin
berhasil dalam menjalankan usaha. Berpikir kreatif merupakan suatu proses yang
menggunakan perpaduan kemampuan otak kiri dan otak kanan yang didominasi oleh
otak kanan yang merupakan pusat berpikir imaginatif, abstrak dan kreatif.
Setiap orang,
setiap manusia memiliki bakat untuk berpikir kreatif. Namun ada orang yang
lebih berbakat dan ada orang yang kurang berbakat.
Apabila seseorang melatih kraetifitas secara baik maka kreatifitasnya dapat semakin tumbuh dan berkembang, sebaliknya bila tidak maka akan tenggelam.
Apabila seseorang melatih kraetifitas secara baik maka kreatifitasnya dapat semakin tumbuh dan berkembang, sebaliknya bila tidak maka akan tenggelam.
Kreativitas
adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya :
1.
Baru (novel) : innovatif, belum ada sebelumnya,
segar, menarik, aneh, mengejutkan.
2.
Berguna (useful): lebih enak, lebih
praktis, mempermudah, memperlancar, mendorong, mengembangkan, mendidik,
memecahkan masalah, mengurangi hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan
hasil lebih baik/banyak.
3.
Dapat dimengerti (understandable) hasil
yang sama dapat dimengerti dan dibuat di lain waktu.
Ciri-ciri orang
kreatif adalah:
1.
Mengobservasikan situasi dan masalah-masalah
yang sebelumnya diperhatikan orang lain.
2.
Membangkitkan ide-ide dan masalah-masalah yang
dicapainya dari banyak sumber.
3.
Cenderung memiliki banyak alternatif terhadap
masalah atau subjek tertentu.
4.
Seringkali menentang hal-hal yang bersifat
klise dan ia tidak terhalang oleh kebiasaan-kebiasaan (yang kadang-kadang
menghambat berpikir kreatif).
5.
Mendayagunakan serta menimba dari
kekuatan-kekuatan emosional di bawah sadar yang dimilikinya.
6.
Memiliki fleksibilitas tinggi dalam pemikirannya,
tindakan-tindakannya serta perumusan saran-saran.
Inovasi juga
diperlukan dalam mengembangkan suatu produk atau jasa yang akan dipasarkan
kepada target customer yang diharapkan. Inovasi merupakan buah pemikiran
seseorang yang berhasil keluar dari jalur yang biasa dilakukan oleh orang
kebanyakan. Inovasi merupakan salah satu bentuk kreatifitas. Kreatifitas
merupakan salah satu syarat mutlak yang harus ada pada seseorang yang ingin sukses
usaha atau mempertahankan usahanya.
Hambatan-hambatan
munculnya kreatifitas adalah:
1.
Mencari satu-satunya jawaban yang tepat.
2.
Memusatkan upaya supaya terkesan “logis” atau
logical.
3.
Mengikuti peraturan-peraturan secara harfiah.
4.
Terus-menerus bersikap partical.
5.
Memandang kegiatan bermain sebagai hal yang
patut dikecam.
6.
Menjadi seorang specialis yang terlampau
berlebihan.
7.
Menghindari timbulnya ambiguitas.
8.
Perasaan takut dianggap bodoh.
9.
Hambatan yang dibuat sendiri.
10.
Hambatan kelaziman / kebiasaan.
11.
Ide terlalu cepat dievaluasi.
Ciri-ciri orang
yang kreatif adalah:
1.
Memiliki pengetahuan luwes (flexibility
cognitive), mampu melahirkan gagasan yang berlainan.
2.
Memiliki sikap terbuka, selalu mencari,
sehingga memiliki minat yang beragam dan luas terhadap hal baru.
3.
Sikap bebas, selalu ingin berkreasi sendiri,
tidak senang hanya mengikuti orang lain saja.
4.
Percaya diri atas kemampuan yang dimilikinya,
kemampuan kuat untuk mencoba sesuatu, tidak mudah putus asa dan tidak mau
terlibat dengan batasan-batasan yang baku.
5.
Memperluas asosiasi pikiran/memperkuat daya
imajinasi (berpikir bebas, tidak ada ikatan).
6.
Memperbanyak ide alternatif pemecahan masalah.
7.
Cross fertilize (semakin
banyak yang ikut berpikir, akan semakin banyak ide yang muncul).
8.
Divergen (menyebar).
9.
Bersifat induksi.
10.
Mendahulukan kuantitas daripada kualitas.
11.
Crazy ide.
12.
Berani mengambil resiko.
Keberhasilah
yang diraih oleh para pengusaha yang sukses disebabkan oleh keuletan dan
keberanian dalam menjalankan usaha. Selain keuletan dan keberanian
umumnya orang-orang yang sukses adalah orang-orang yang memiliki kreativitas
tinggi, memiliki kemampuan untuk menggerakkan orang, pengambil resiko, percaya
diri.
E.
Percaya
Diri
Percaya diri merupakan paduan sikap dan keyakinan seseorang dalam
menghadapi tugas atau pekerjaan, yang bersifat internal, sangat relatif dan
dinamis, dan banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk memulai, melaksanakan,
dan menyelesaikan suatu pekerjaan. Kepercayaan diri akan mempebgaruhi gagasan,
karsa, inisiatif, kreativitas, keberanian, ketekunan, semangat kerja, dan
kegairahan berkarya. M. Hamdani (2010: 54) menyebutkan bahwa kunci keberhasilan
dalam bisnis adalah untuk memahami diri sendiri. Oleh karena itu, wirausaha
yang sukses adalah wirausaha yang mendiri dan percaya diri.
Meluncurkan bisnis baru adalah perjuangan dan tanpa kepercayaan
diri dan kemampuan untuk melihat situasi, maka akan mudah hancur. Karyawan
merefleksikan moral pengusaha dan jika mereka merasa Anda tidak jujur atau tidak aman,
mereka akan menjadi gelisah dan tidak ada motivasi. Anda harus belajar
menyimpan ketakutan dan kecemasan dalam hati dan merefkeksikannya secara
personal. Dihadapan publik, Anda harus menjadi figur yang tenang dan percaya
diri.
F.
Prestatif
Untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang prestatif yang
diharapkan mampu bersaing serta mampu
bertahan dalam segala kondisi , maka
diperlukan sumber daya manusia yang dilengkapi /dibekali dengan :
1. Penguasaan diri dalam bentuk penuh inisiatif dan dapat dipercaya,
prestatif, dapat menemukan dan memecahkan masalah dan mengambil keputusan yang
tepat.
2. Terampil dalam memanfaatkan kesempatan, dapat menyesuaikan diri
dalam menghadapi perubahan keadaan yang cepat berubah-ubah.
3. Dapat menghargai perbedaan , kerja tim yang kompak , memiliki tenggang rasa, peka
dalam berkomunikasi secara efektif.
Menurut Larry farel, untuk maju (prestatif) seorang pengusaha harus
memiliki motivasi yang tinggi, inovatif, dan memiliki ambisi untuk maju
/berkembang. Ini saja tentu tidak cukup.
Syarat lain untuk maju (prestatif) antara lain :
a.
Memiliki
komitmen dan tanggung jawab yang tinggi terhadap karier/pekerjaan.
b.
Memiliki
ambisi yang kuat untuk mencapai hasil/prestasi yang lebih baik.
c.
Bersemangat
terhadap masukan dari berbagai pihak.
d.
Memiliki
motivasi yang kuat untuk menjadi superior.
e.
Memiliki
orientasi ke masa depan.
Ciri khusus perilaku kerja prestatif ialah selalu ingin maju disegala
bidang. Dengan demikian orang yang berperilaku
kerja prestatif akan
memancarkan sifat yang terpuji, mencintai pekerjaaannya, selalu ingin maju, mau belajar banyak serta mempunyai kenyakinan
yang kuat akan keberhasilan usahanya.
Jika
orang cinta terhadap pekerjaan, ia akan
terdorong untuk senang bekerja. Orang yang senang bekerja tak akan membuang-buang
waktu. Orang yang tidak membuang-buang waktu akan lebih sukses dalam usaha.
Orang yang sukses dalam usaha pada umumnya akan terus melakukan investasi baru
untuk mendiversifikasi usahanya.
Menurut Stephen Covey dalam bukunya Fisrt Thing’s, ada empat sisi
potensial yang dimiliki manusia untuk maju, yaitu :
1. Self awareness atau sikap mawas diri.
2. Conscience atau mempertajam suara hati.
3. Independent will atau pandangan independent untuk bakal bertindak.
4.
Creative imagination atau berfikir
mengarah ke depan untuk memecahkan masalah dengan imajinasi serta adaptasi yang
tepat.
G.
Dermawan
Dermawan merupakan sikap peduli terhadap sesama, suka menolong
terhadap yang membutuhkan. Dalam ajaran Islam sikap ini bisa dalam bentuk zakat
dan infaq. Harta yang dikelola dala
bidang bisnis, laba yang diperoleh, harus disisihkan sebagian untuk membantu
anggota masyarakat yang membutuhkan. Dalam ajaran Islam sudah jelas bahwa harta
yang dizakatkan dan diinfaqkan tidak akan hilang, melainkan menjadi tabungan
kita yang berlipat ganda baik di dunia maupun di akhirat. Al-Qur’an menyatakan:
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan
keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.(Q.S.
at-Thalaq:2-3).
Selain karakteristik-karakteristik yang telah disebutkan di atas,
menurut Ilaham Buchori (2008) yang termasuk karakteristik pengusaha, antara
lain: loyalitas kerja tinggi, komitmen yang kuat, peduli sesama, mandiri, dan tanggung
jawab.
BAB III
KESIMPULAN
Uang bukanlah
segalanya atau modal utama yang harus dimiliki oleh seorang pengusaha, tetapi
karakter atau sifat-sifat seperti kejujuran, kerja keras dan yang lainnya yang
telah dibahas pada bab sebelumnya merupakan modal yang utama dan berharga untuk
mencapai kesuksesan dalam berwirausaha.
Langganan:
Postingan (Atom)
cara daftar member di website netira
CARA MENJADI MEMBER DI WEB RESMI SMPN 3 RAJADESA 1. MASUK KE www.smpn3rajadesa.sch.id .2. Pilih menu Daftar 3. ...
-
TAHAPAN-TAHAPAN PENELITIAN Kegiatan penelitian sebagai suatu cara untuk memperoleh pengetahuan atau permasalahan yang dihadapi, dil...
-
Bahan Ajar TIK: Materi Excel 2003 Klik disin
-
CARA MENJADI MEMBER DI WEB RESMI SMPN 3 RAJADESA 1. MASUK KE www.smpn3rajadesa.sch.id .2. Pilih menu Daftar 3. ...